Benar, aku memang kaku.
Tak pandai berbicara didepanmu yang abu-abu.
Tapi mendadak pintar bercerita untuk memintamu didepan Tuhanku.
Jangan salahkan aku, aku memang kaku.
Mengakui rasaku saja aku tak mampu.
Apalagi harus memamerkannya didepan matamu.
Lagi pula, kamu terlalu berkilau.
Tak sanggup lama-lama aku menatapmu.
Takut kamu semakin muak karena harapku yang begitu terlihat.
Jadi, biarkan aku diam.
Aku juga biarkan kamu tak paham.
Tak apa.
Tak tahu sampai kapan,
Sampai kamu mengerti dengan sendirinya?
Atau sampai kamu bersama dengan dirinya?
- Jogja, awal Juni 2018.
Pecandu Hujan
Perempuan sederhana yang bermimpi mempunyai balkon rumah esok hari, bersamamu.
Jumat, 01 Juni 2018
Jumat, 26 Januari 2018
.
.
"Kamu cemburu aku jalan sama Kang Adi?"
"Cemburu itu hanya untuk orang yang sedang tidak percaya diri"
"Terus?"
"Dan sekarang aku sedang tidak percaya diri"
.
.
Tulisan percakapan yang dibuat oleh ayah tidak pernah rumit, dan sederhana sekali. Tapi selalu punya 'magic' sendiri buat langsung masuk ke hati perempuan-perempuan jomblo macam saya begini. Ah, saya fans sejatimu, Ayah. Saya menyesal baru membaca novelmu akhir-akhir ini, mengapa tidak dari dulu.
.
"Kamu cemburu aku jalan sama Kang Adi?"
"Cemburu itu hanya untuk orang yang sedang tidak percaya diri"
"Terus?"
"Dan sekarang aku sedang tidak percaya diri"
.
.
Tulisan percakapan yang dibuat oleh ayah tidak pernah rumit, dan sederhana sekali. Tapi selalu punya 'magic' sendiri buat langsung masuk ke hati perempuan-perempuan jomblo macam saya begini. Ah, saya fans sejatimu, Ayah. Saya menyesal baru membaca novelmu akhir-akhir ini, mengapa tidak dari dulu.
Dilan 1990
.
.
“Milea, hari ini hari apa?”
“Ini hari Minggu, Dilan”
“Itu artinya aku akan menikahimu”
“Maksud kamu?”
“Iya, aku akan menikahimu di hari Minggu”
“Kenapa hari Minggu?”
“Karena jika aku menikahimu di hari Senin, Suripto akan
menampar aku lagi karena tidak mengikuti upacara bendera”
“Ha ha ha”
.
.
Mencoba mengikuti gombalan Dilan ala Ayah Pidi Baiq akibat dari menghabiskan 3 novel seri Dilan dalam 2 hari saja. Aku langsung jatuh cinta dengan gaya menulismu, Ayah!
Minggu, 15 Mei 2016
Kehadiranmu
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa ada kehadiranmu pada setiap kegiatanku
Bukan, bukan kehadiran secara fisik
Namun kehadiran dalam hati dan pikiran ini
Berkali-kali aku menolak bahwa aku sedang memikirkanmu,
yang ada justru sebaliknya
Semakin intens otak ini memikirkanmu
Entah,
Apa yang membuat pikiran ini tertuju padamu
Rasanya hanya sekadar ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja
Apakah hari ini kau makan dengan lahap?
Sudahkah shalat?
Masih rutin tilawah?
Apapun kegiatanmu,
Jangan lupa tuk beristirahat
Oh iya, besok hari Senin
Biasanya kamu puasa, bukan?
Sudah ada menu apa untuk sahur nanti?
Ingatlah bahwa kamu butuh banyak energi
Untuk melakukan segala kegiatanmu
yang tak kunjung ada habisnya
Aku tak tahu apa yang benar-benar sedang kamu perjuangkan
Apakah kamu hanya fokus untuk mengejar impianmu,
atau....
Adakah seseorang yang sedang kamu perjuangkan untuk bersama di masa depan?
Bukan, bukan kehadiran secara fisik
Namun kehadiran dalam hati dan pikiran ini
Berkali-kali aku menolak bahwa aku sedang memikirkanmu,
yang ada justru sebaliknya
Semakin intens otak ini memikirkanmu
Entah,
Apa yang membuat pikiran ini tertuju padamu
Rasanya hanya sekadar ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja
Apakah hari ini kau makan dengan lahap?
Sudahkah shalat?
Masih rutin tilawah?
Apapun kegiatanmu,
Jangan lupa tuk beristirahat
Oh iya, besok hari Senin
Biasanya kamu puasa, bukan?
Sudah ada menu apa untuk sahur nanti?
Ingatlah bahwa kamu butuh banyak energi
Untuk melakukan segala kegiatanmu
yang tak kunjung ada habisnya
Aku tak tahu apa yang benar-benar sedang kamu perjuangkan
Apakah kamu hanya fokus untuk mengejar impianmu,
atau....
Adakah seseorang yang sedang kamu perjuangkan untuk bersama di masa depan?
Umbulharjo, 27 Maret 2016
pukul 22:41 WIB
Kasihmu yang Sederhana
Halo, pada kesempatan kali ini saya akan mempublikasikan satu cerpen yang pernah aku buat nih. Dibuat tanggal 28 September 2014 dan Alhamdulillah dipublikasikan di majalah SMP :") Ini adalah cerpen terakhir yang saya buat sampai sekarang, karena saya masih malas belum sempat, wkwk. Inginnya setelah ini saya meramaikan isi blog ini, doakan ya :) Enjoy reading! :)
Kasihmu yang Sederhana
Karya : Diah Ayu Widyaningrum
Aku terus menyusuri gang kecil yang terletak di kota Yogyakarta itu.
Angin sepoi-sepoi menemaniku sepanjang perjalanan di kampung ini. Satu persatu
rumah kulewati. Hingga aku pun berbelok menuju rumah sederhana dengan bagian
pintu yang sudah rusak. Bisa dibilang rumah yang ada di sekitar sini semuanya
illegal, karena kita membangun rumah dipinggir jembatan sungai Code milik
pemerintah. Tapi mau bagaimana lagi? Keluargaku dan banyak keluarga lain yang
tinggal disini, tidak mempunyai tanah sendiri untuk membangun tempat tinggal
yang tentunya lebih layak.
“Assalamu’alaikum. Bu, Yuni udah
pulang.”
“Wa’alaikumsalam. Kok pulangnya
sore terus, nak?”
“Yuni kan udah kelas tiga bu, jadi
banyak les tambahan.”
“Oh. Ya sudah, ganti baju dulu
sana. Habis itu langsung jual pempeknya.”
Akhirnya setelah selesai berganti
pakaian, aku menemui ibu di dapur. Aku membantu Ibuku menjajakan pempek keliling
kampung. Harga perbijinya adalah Rp 1.000,- saja. Walaupun hanya dimasak
sederhana, namun pempek ibu ini tiada dua nya. Setiap hari selalu ludes
terjual. Bahkan ada beberapa tetangga yang tidak kebagian. Ini semua adalah keseharianku
dan ibuku, membuat dan menjual pempek keliling kampung untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Karena pekerjaan bapak yang hanyasebagai tukang becak terkadang
tidak mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga. Namun dibalik itu semua, tak
pernah sekalipun aku melihat ayah atau ibuku mengeluh dengan semua keadaan ini.
Sehabis Isya’, aku membantu ibu
menyiapkan makan malam. Dengan menu yang sederhana, aku, bapak, dan ibu
menikmati makan malam ini dengan lahap walaupun hanya dengan lauk tempe goring.
Bapak memulai perbincangan. “Yun,
setelah lulus SMA kamu pengen kerja apa?”
“Emm.. anu pak, Yuni nggak mau
kerja. Yuni ingin membuka usaha.”
“Usaha apa, nduk? Bapak lagi enggak main-main lho.”
“Yuni juga nggak main-main, Pak.
Yuni ingin membuka usaha warung pempek yang besar di tengah kota. Yuni ingin
memperbaiki nasib keluarga kita, Pak.”
“Dapat modal dari mana kamu?
Membuka usaha itu modalnya nggak dikit. Kita menjual rumah kita ini saja
mungkin tidak cukup. Jangan aneh-aneh kamu. Mending kamu membantu ibumu saja
untuk berjualan pempek keliling kampung, daripada buang-buang uang.”
Aku tidak menanggapi bapak, sudah
tidak ada lagi makanan tersisa di piring sehingga aku membereskannya. Aku
menuju kamar lalu berdiam diri. Sejujurnya, aku sangat ingin kuliah di
kedokteran, dengan begitu aku bisa menghasilkan nafkah untuk keluarga sehingga
Bapak dan Ibu tidak perlu bekerja terlalu keras lagi.
***______***
Disekolah, Yuni dikenal sebagai
anak yang cerdas. Banyak guru-guru yang sudah mengakui kepandaiannya, terutama
dalam mata pelajaran ekonomi yang menyangkut masalah menghitung uang-uang
perusahaan.
“Yuni Ida Riyani, maju ke depan. Sekarang
giliranmu untuk mempresentasikan tentang cita-citamu setelah lulus SMA nanti. Perintah
Pak Kawit kepadaku. Beliau adalah ahli dibidang ekonomi. Terkadang, aku
bertanya hal yang menyangkut tentang peluang usaha di Indonesia.
“Nah anak-anak, kalian seharusnya
mencontoh teman kalian yang satu ini. Dia tetap optimis untuk mendapat
kesuksesan dalam cita-citanya meraih kesuksesan membuka usaha pempek tersebut.
Mari kita beri tepuk tangan untuk Yuni. Baiklah Yuni, silahkan duduk.”
Usai sekolah, Pak Kawit menyuruhku
untuk menemuinya di kantor guru. Beliau menyarankanku untuk membuka usaha
pempek setelah lulus nanti. Karena menurutnya, presentasiku tadi terlihat
sangat meyakinkan, karena aku sudah menyertakan kemungkinan-kemungkinan serta
modal yang harus aku keluarkan. Dan juga peluang usaha pempek di Yogyakarta
masih sangat besar.
“Iya Pak, saya juga ingin sekali
membuka usaha pempek itu. Namun ayah saya menyarankan untuk tidak usah
melakukan itu karena modal yang sangat besar. Saya juga bingung dapat modal
dari mana. Kata ayah saya lebih baik saya membantu ibu saya untuk berjualan
pempek keliling” Keluhku.
“Dengarkan Bapak dulu. Jadi gini,
baru saja bapak mendapat surat yang isinya lomba untuk siswa berkreativitas
usaha tinggi. Jadi, jika kamu dapat mengajukan konsep usaha dan menunjukkan
hasilnya ke pemerintah, bisa saja kamu nanti jadi pemenangnya. Jika kamu menang
nanti, kamu bisa membuka usaha sesuai dengan yang kamu ajukan dengan bantuan
pemerintah. Kamu bisa mendapat uang pembinaan setengah dari modal usahamu. Bagaimana?”
Aku sangat terkejut mendengar
berita tersebut. Itu esempatan emas. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya.
“Baiklah Pak. Akan saya tanyakan kepada Bapak saya dahulu. Terimakasih Pak.”Ucapku
kemudian pergi meninggalkan kantor guru
***______***
Setelah makan malam berakhir, aku
memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku yang dari tadi ku tahan.
“Pak, tadi siang aku dipanggil Pak
Kawit. Aku ditawari mengikuti lomba kreativitas berwirausaha. Jadi nanti aku
harus membuat konsep usaha yang akan aku buat dengan matang, dan jika menang
aku akan mendapat setengah dari keseluruhan modal yang aku butuhkan. Dan itu
adalah sebuah kesempatan kita untuk memperbaiki kondisi ekonomi dikeluarga kita
Pak.” Ucapku.
“Lha sama saja kita harus ngeluarin
uang untuk modal usahamu kan? Walaupun hanya setengahnya, tetapi tetap banyak,
nak. Baru kemarin Bapak bilang buat jangan aneh-aneh. Maumu apa to nak?”
“Ya meman modalnya mahal, Pak. Tapi
Yuni bisa usahakan. Yuni bakal nyari modalnya sendiri Pak. Asalkan bapak
merestuiku mengikuti kompetisi ini.” Aku memohon dengan nada lirih.
“Nak, harusnya kamu lihat kondisi
kita. Bapakmu ini hanya tukang becak. Buat makan aja kadang berhutang. Gimana
bisa kamu cari uangnya? Hidup sebagai orang miskin tuh nggak mudah. Udah, nggak
usah aneh-aneh. Bantu ibu saja dirumah memasak pempek.”
“Bapak, tapi Yuni pengen pengusaha.”
“Kamu gak denger kata Bapak?”
“Bapak ini lho, nggak pernah
ngertiin Yuni sedikit aja. Pokoknya Yuni pengen kuliah. Yuni bisa cari biaya sendiri.”
Kata ku sedikit emosi. Kemudian aku menarik kursi kebelakang dan segera
meninggalkan Bapak.
“Yuni!” Tegas Bapak.
Aku segera menuju kamar. Aku tidak
mau perbincangan tadi menjadi pertengkaran hebat antara aku dan bapak. Mukaku
telah memerah, kupejamkan mataku, kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Tuhan, aku tahu Kau Maha Adil. Tuhan, bimbinglah aku malam ini, aku berharap
ketika matahari kembali menyinari bumi, aku akan lebih kuat menghadapi semua
ini. Izinkan aku meraih cita-citaku ini untuk menjadi pengusaha.
***______***
Seminggu kemudian, usai pulang
sekolah aku pergi menemui Pak Kawit untuk membicarakan soal lomba yang
ditawarkannya. Bagaimanapun caranya aku harus mengikuti lomba itu. Aku harus
bisa membuktikan ke orang tuaku kalau aku bisa.
“Assalamu’alaikum Pak. Saya ingin
mengkonfirmasi tentang lomba yang bapak tawarkan kemarin.” Ucapku
Pak Kawit menyuruhku untuk duduk.
“Baiklah Yuni, bagaimana? Apakah ayahmu setuju?”
“Untuk itu saya kuang yakin Pak.
Semalam, ayah saya mengatakan tidak setuju dengan lomba ini. Namun saya akan
tetap mengikutinya. Saya akan mencari modal sendiri Pak.” Jawabku.
“Kamu yakin? Modal untuk membuka
usaha pempek itu tidaklah sedikit lho nak. Apalagi jika kamu membuka tempat di
tengah kota ini. Kamu mau dapat uang dari mana?” Tanya Pak Kawit sedikit ragu.
“Saya masih ada tabungan untuk
membeli bahan-bahan pempek Pak. Selebihnya nanti bisa saya usahakan lagi.
Kumohon Pak untuk mendaftarkan saya dalam kompetisi itu?” Ucapku.
“Ya sudah nak. Saya akan daftarkan.
Karena saya melihat usaha dan tekadmu yang tinggi untuk mengikuti lomba
tersebut, ini Bapak ada sedikit uang yang barangkali bisa kamu manfaatkan untuk
membiayai hal yang kamu butuhkan untuk lomba,” Pak Kawit mengulurkan tangannya
dan memberikanku 5 lembar uang Rp 100.000,-
Aku yang mendengarnya langsung
kaget, “Loh pak, ini tidak perlu. Kan saya yang mengikuti lomba ini.
Sebelumnya, saya berterima kasih pak. Namun tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada bapak, lebih baik uang ini disimpan kembali. Saya akan berusaha mencari
uangnya Pak. Bapak sudah mendukung saya saja, saya sudah sangat senang. Sekali
lagi terima kasih, Pak. Izinkan saya untuk segera pulang dan mempersiapkan
lomba itu.”
“Baiklah. Tapi Bapak ingatkan kembali
bahwa modal seratus puluh juta rupiah itu tidak sedikit. Jika kamu butuh
bantuan langsung hubungi bapak saja. Insya Allah bapak akan membantu semampu
yang bapak bisa. Ya sudah, hati-hati dijalan nak” Ucap Pak Kawit.
Setelah itu, aku segera pulang menuju
kerumah, kemudian membeli bahan-bahan yang aku perlukan.
Hampir seharian aku mempersiapkan ini itu, hari ini cukup melelahkan
bagiku. Entah mengapa sepertinya banyak sekali kendala yang terjadi, seperti
uang yang kurang bahkan ada tepung yang jatuh dijalan karena plastiknya
berlubang. Disamping itu semua, aku juga memikirkan perkataan ayah untuk membantu
ibu atau membuka usaha ini. Walaupun begitu, aku tetap semangat melakukan ini
semua. Saking semangatnya, aku lupa kalau aku harus membantu ibuku menjajakan
pempek. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, biasanya jam segini aku
dan ibuku sudah selesai menjajakan pempek. Aku pun segera menuju kerumah.
Dalam perjalanan pulang, aku terus
memikirkan tentang membuka usaha itu. Darimana aku bisa mendapat modal yang
begitu banyak? Namun disampinng itu aku juga tak mau dianggap sebagai anak yang
tidak berbakti pada orang tuaku. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Berikanlah
lentera peneranganMu, tunjukkan pada hambaMu ini apa yang harus aku lakukan.
“Assalamu’alaikum. Bapak. Ibu. Yuni
udah pulang.” Kurasakan suasana sedikit berbeda. Tidak biasanya Ibu tidak
langsung menjawab salamku. Aku menyusuri sudut-sudut rumah. “Mengapa tak ada
orang? Bapak dan Ibu kemana?” Tanyaku dalam hati.
Ku dengar sayup-sayup suara seperti
ibu yang sedang menangis. “Yuni, sini nak” Panggil Bapak padaku.
“Bapak sakit? Bapak pasti kecapekan
narik becak seharian.” Aku mulai menebak-nebak.
“Gak apa apa nak, bapak nggak
sakit.” Ucap Bapak lirih.
Bapak tersenyum lebar kepadaku. Tak
biasanya aku melihat Bapak seperti itu, seperti ada yang berbeda. Sudah hampir
seminggu aku tidak berbicara pada bapak karena masalah usaha pempek ini. Aku
hanya membatin diri, sepertinya ada sesuatu yang salah disini. Hingga tiba-tiba
kurasakan telingaku sedikit ditarik.
“Kamu tega sekali Yuni! Apa seperti
ini balasanmu kepada bapakmu yang sudah susah payah membanting tulang untuk
menghidupimu? Apa perlu bapak dan ibumu ini mati dulu sampai kamu puas?” Bentak
ibu sambil menjewer telingaku.
“Ampun Bu.. Yuni nggak tau apa-apa.
Ada apa ini sebenarnya bu?” Aku pun kebingungan.
“Kamu pura-pura gak tahu? Lihat!
Lihat Bapakmu! Dia sampai menjual ginjalnya demi memenuhi ambisimu itu. Puas
kan? Puas kamu melihat Bapakmu hidup dengan satu ginjal? Puas kamu Yun?” Cerca
ibuku sambil menangis. Aku tak tahu harus bagaimana.. “Sekarang kamu bisa jadi
pengusaha sukses. Apa kurang? Butuh berapa ginjal lagi? Apa perlu ibu juga
menjual ginjal demi memenuhi ambisimu?”
Aku hanya bisa terduduk diam
dipinggir ranjang bapak. Air mata ku sudah tak mampu ku bendung saat itu juga.
“Bapak, maafin Yuni. Yuni nggak bermaksud seperti ini. Yuni…..Yuni..” Susah
payah aku mengungkapkan isi hatiku. Hanya linangan air mata yang mewakili semua
rasa dalam hati ini.
“Enggak nak. Kamu nggak salah
apa-apa. Memang seharusnya bapak memenuhi semua kebutuhanmu. Maafin bapak
karena nggak bisa menjadi seperti bapak yang kamu harapkan.”
“Bapak, Yuni sayang bapak. Yuni
bakal menjadi anak yang berbakti sama bapak. Yuni nggak mau membuka usaha
pempek lagi. Yuni mau ikuti nasihat bapak, Yuni mau membantu ibu saja..Yuni
minta maaf pak.”
”Nggak nak. Bapak ingin lihat Yuni
jadi pengusaha sukses.. Bapak ingin anak bapak dipanggil ‘wirausahawan sukses’ sama
orang-orang di kampung. Bapak janji bakal berusaha mencukupi semua kebutuhanmu.
Syaratnya kamu harus menekuni usahamu ini dengan sungguh-sungguh.” Dengan nafas
tersengal-sengal bapak mengucapkan itu semua. Terenyuh aku mendengarnya. Aku
hampir tak bisa berkata-kata.
“Iya Pak. Yuni janji. Yuni nggak
akan ngecewain bapak.”Jawabku singkat namun sepenuh hati. Aku memeluk bapak
dengan perasaan haru pilu. Ibu pun mengelus rambutku dari belakang dengan
berlinang air mata.
Keesokan harinya,
aku dibantu oleh ibuku mencari rumah kecil yang strategis sebagai tempat penjualan.
Dan Alhamdulillah, kami mendapati rumah kosong ditengah kota dengan harga yang
terjangkau. Aku pun semakin semangat untuk membuka usaha pempek ini.
Setelah itu, aku
membeli bahan-bahan pempek yang aku butuhkan. Aku mencoba resep seperti yang
diajarkan ibuku, namun masih saja rasanya aneh. Akhirnya setelah berkali-kali
mencoba, aku mendapat resep yang pas untuk sebuah pempek. Toko pempek yang akan
aku beri adalah toko, “Pempek Sederhana”.
Kemudian tak terasa
kini saatnya aku untuk mempresentasikan konsep usaha kepada pihak pemerintah.
Bismillah. Aku berdo’a kepada Tuhan agar aku mendapat hasil yang terbaik. Aku
tidak ingin mengecewakan kedua orangtuaku. Aku pasrahkan semua hanya padamu, Tuhan.
Tuhan, Engkau tahu perjuanganku dan keluargaku untuk mengikuti kompetisi ini.
Aku hanya berdo’a yang terbaik untuk kami….
**********________________********
Sebulan sudah
berlalu. Kini aku sudah berdiri disini, ditoko ini. Bukan lagi menjadi siswa
yang hanya tinggal dipemukiman padat penduduk dipinggir sungai. Namun kini aku
sudah berdiri menjadi seorang siswa dengan julukan, “Wirausawahan sukses”
dikota Yogyakarta.
Ya, sebulan yang
lalu aku menjadi pemenang dalam kompetisi kekreativitasan berwirausaha tingkat
daerah. Dan aku mendapat uang pembinaan sebesar lima puluh juta rupiah. Tentu
saja semua ini berkat do’a bapak dan ibuku.
Itu semua adalah hal
yang sangat menggembirakan bagiku. Namun, hidupku tak selamanya mulus. Ditengah
perjalanan aku membangun usaha, aku ditinggal oleh bapak. Bapak meninggal dunia
tepat seminggu setelah diumumkannya pemenang dari lomba kreativitas
berwirausaha tersebut. Tentunya, itu bukanlah hal yang mudah untuk kulewati
bersama ibuku. Sempat terlintas difikiranku untuk menghentikan semua ini,
karena aku beranggapan bahwa semua ini adalah salahku. Salahku karena aku
terlalu memaksakan diri untuk menjadi seorang wirausahawan sukses sehingga
menyebabkan bapak harus menjual ginjalnya demi memenuhi ambisiku.
Tapi, karena
semangat dari ibuku dan aku mengingat perkataan bapak sewaktu masih hidup, aku
menjadi bangkit kembali. Justru itu adalah hal yang memotivasiku untuk sukses
dalam usaha ini. Memotivasiku untuk menunjukkan kepada kedua orang tuaku bahwa
aku bisa, walaupun bapak sudah tidak ada didunia ini.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan
ibu dan bapak sebagai malaikatku. Dengan kesederhanaan mereka menyanyangiku,
terutama bapak. Sesederhana itu pula hingga beliau mampu mengorbankan
segalanya. Sederhana, namun penuh kasih sayang. Sederhana, kata yang terucap
untuk menunjukkan semua rasa cintanya.
Langganan:
Postingan (Atom)